Jodha meregangkan ototnya yang terasa kaku. Sejak pagi ia sudah di sibukan dengan jadwal operasi yang begitu padat. Memang seminggu ini ia sering mendapatkan jadwal jaga malam menggantikan dokter Ayu, yang juga dokter spesialis bedah. Ditambah dokter Fadli yang sedang menghadiri seminar sejak dua hari yang lalu membuatnya harus menangani pasien sendiri. Sejujurnya ia sudah mengajukan adanya perekrutan dokter spesialis bedah. Namun sayangnya belum ada tanggapan hingga saat ini.
Padatnya jadwal hari ini membuat kepala Jodha sedikit pusing. Untuk itu ia memutuskan untuk berjalan santai dan menghabiskan waktu istirahatnya di taman rumah sakit.
Jodha tersenyum begitu mendapati banyak anak kecil yang sedang berlari dan tertawa bersama dengan orang tua atau orang terdekat mereka. Walaupun masih mengenakan pakaian rumah sakit tapi tak menyurutkan tawa mereka yang begitu lepas.
Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas putihnya lalu kembali berjalan hendak duduk di bangku taman yang kosong.
Jodha merasakan kepenatannya sedikit berkurang tatkala melihat tawa mereka. Namun, perhatiannya tertuju pada tiga orang anak yang sedang duduk di atas kursi roda.
Saat ia tengah asik memperhatikan interaksi tiga anak itu. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang sangat Jodha kenal. ”Boleh saya duduk disini?
Jodha pun mendongak dan mendapati Jalal tengah berdiri di sampingnya. Ia pun mengangguk lalu menggeserkan tubuhnya ke ujung kursi yang sebenarnya muat untuk 3 orang.
Jalal pun duduk di ujung kursi yang satunya lagi. Mereka sengaja duduk berjauhan karena menghindari fitnah dan mereka berdua pun bukan mahram.
"Bagaimana kabarmu sekarang Jo? ia bertanya sambil memandang ke arah Jodha.
Jodha pun menoleh dan saat kedua pasang mata itu bertemu mereka segera memalingkan wajah. Entahlah ada apa dengan jantungnya, setiap kali berdekatan dengan pria ini jantungnya selalu memompa lebih cepat.
"Alhamdulillah kabar saya baik" Ia menjawab sambil menatap kembali tiga orang anak itu. Berharap agar jantungnya kembali normal.
Syukurlah kalau begitu batin Jalal sambil tersenyum simpul
Jalal sesekali melirik ke arah Jodha yang tengah asyik memperhatikan suatu objek. Karena penasaran maka ia pun melihat ke arah yang di tatap oleh Jodha. Terlihat tiga anak yang masing-masing duduk di kursi roda di temani oleh tiga suster. Rambut mereka pun nyaris botak karena efek dari kemoterapi.
Meskipun kondisi yang tengah sakit bahkan sewaktu-waktu malaikat maut bisa saja menjemput mereka, namun semua itu tidak menyurutkan keceriaan yang terlihat di wajah pucat mereka.
Jalal tersenyum lalu berucap "Kau lihat, mereka berasal dari daerah yang berbeda dan di pertemukan di tempat ini."
Jodha menoleh ke arah Jalal. Kemudian ia kembali lagi memperhatikan tiga anak itu. "Mungkin mereka di pertemukan karena kebetulan pak."
"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya adalah takdir yang sudah tertulis di kitab Lauh Mahfudz. Mereka di pertemukan karena sebuah takdir. Takdir yang mempersatukan mereka agar bisa saling menguatkan satu sama lain. Berat rasanya jika berjuang seorang diri apalagi di usia mereka yang masih kecil. Maka dari itu takdir menyatukan mereka agar bisa bersama-sama berjuang melawan penyakitnya.
Seperti kita Jo, kita di pertemukan bukan karena suatu kebetulan belaka tapi takdirlah yang kembali mempertemukan kita. Batin Jalal
Jodha yang mendengar penuturan Jalal hanya bisa mengulum senyum membenarkan perkataannya. Namun saat ia ingin bertanya, suara deringan ponsel dari saku jasnya berteriak keras membuyarkan segala pertanyaan yang tadi hendak ia tanyakan pada Jalal.
Jodha mengangkat ponselnya, tertera nama Suster Ratna. "Dokter maaf, jadwal operasi usus buntu atas nama Tuan Hermawan dimajukan lima belas menit lagi dok. Pasien sudah di pindahkan ke ruang operasi hanya tinggal menunggu dokter saja." Jelas suster Ratna di seberang sana.
Jodha menghela nafas, lalu mengangguk "Baik, saya segera kesana. Terimakasih suster Ratna."
Jodha memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Sebelum beranjak, ia menoleh pada sosok pria disampingnya.
"Maaf pak, saya harus pergi ada pasien yang harus saya tangani, Assalamu'alaikum..."
Setelah berkata seperti itu Jodha dengan sedikit berlari menuju ruang operasi.
"Wa'alaikumsalam Warahmatullah..." Jalal menjawab sambil terus memperhatikan Jodha hingga lama kelamaan sosok wanita itu menghilang.
Jalal masih duduk bersandar di kursi taman. Mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikirannya sambil menikmati udara sejuk yang berhembus di kelilingi pepohonan rindang.
Saat tengah asik menikmati pemandangan, ia teringat sesuatu kalau mamanya sendirian di ruang rawat. Tadinya ia berniat untuk membeli air dingin untuk membasahi tenggorokannya. Namun dirinya tak sengaja melihat seorang dokter berhijab tengah duduk sendirian di bangku taman. Ia membelokkan langkahnya menuju dokter itu. Melupakan rasa haus yang ia rasakan.
Jalal memilih untuk kembali ke kamar mama Farah karena kasihan kalau mamanya ditinggal sendirian terlalu lama. Ia melangkahkan kakinya pada lantai-lantai bangsal. Sudah dua bangsal yang ia lewati hanya tinggal melewati satu bangsal lagi yakni bangsal melati.
Kini ia telah sampai di bangsal seruni tempat sang ibu di rawat tepatnya di kamar no. 214. Setelah ia membuka pintu dan mengucap salam ternyata ada abinya.
Yusuf segera menghampiri anak sulungnya itu lalu memeluknya penuh kerinduan. Jalal pun merasakan hal yang sama. Sudah lama ia tidak bertemu dengan abi Yusuf.
Jalal melepaskan pelukannya kemudian ia cium punggung tangan ayahnya dengan takdzim.
"Gimana kabar abi...? Maaf abang gak bisa jemput abi" Seharusnya ia menjemput abinya di bandara, karena beliau baru pulang dari tanah suci guna membimbing para jamaahnya melaksanakan umroh.
"Alhamdulillah kabar abi baik, abi sudah ada yang jemput bang, lagian abang juga harus jaga mama di sini" Abi Yusuf berkata sambil menepuk pelan bahu Jalal.
"Ohiya bang, apa kata dokter tentang kondisi mama?" Tanya abi.
Jalal mulai menjelaskan kondisi sang mama pada abinya. Kini tatapan Yusuf beralih pada sang istri yang sedang tertidur beliau tidak menyadari kehadiran suami dan puteranya.
"Tiga hari lalu mama mu pamit sama abi. Mau ke Bandung jenguk Ustadz Ilyas sekalian mau ketemu kamu bang. Kangen katanya" Yusuf berkata lirih.
Tiga hari lalu Farah menelponnya. Ia ingin meminta izin sang suami untuk menjenguk adik iparnya yang tengah sakit. Karena adik iparnya adalah seorang pimpinan pondok pesantren di daerah Bandung maka sekalian ia berniat menemui anak lelakinya yang tak ingat pulang. Siapa lagi kalau bukan bang Jalal.
Namun takdir berkata lain. Selepas menjenguk ustadz Ilyas mobil yang di kendarainya tertabrak sebuah truk dari arah belakang. Syukurlah beliau mengenakan seatbelt. Kalu tidak mungkin kondisinya akan lebih parah dari ini.
Jalal yang mendengar penuturan Yusuf hanya bisa beristighfar dalam hati, ia merasa lalai sebagai seorang anak. Tapi bukankah segala sesuatu itu telah di atur oleh sang khaliq. Tidak ada seorangpun yang tahu akan nasibnya sendiri baik itu nasib baik atau nasib buruk.
***
Dinginnya angin malam begitu menusuk kulitnya. Hujan yang lebat menambah sensasi dingin menjadi berkali-kali lipat. Jodha beberapa kali melihat jam tangannya sudah satu jam ia menunggu di halte ini tapi tak ada satupun angkot atau taksi yang lewat.
Pantas saja jalanan sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Akhirnya sebuah mobil fortuner hitam berhenti di depannya. Pintu mobil terbuka memunculkan sesosok pria dengan payung biru tengah berjalan ke arahnya.
"Mobilnya kenapa Jo?" Pria itu bertanya sambil menoleh ke arah mobil Jodha
"Eh ini pak, Ban mobilnya kempes" Jodha menjawab dengan gelagapan sedikit terkejut akan kehadiran Jalal.
"Bawa ban serep?" Jodha menggeleng lemah.
Jalal mencoba menelpon bengkel langganannya. "Mobil mu sebentar lagi di bawa ke bengkel, kalau mau saya bisa mengantarmu sampai rumah" Jalal menawarkan pilihan yang sukses membuat Jodha membulatkan matanya.
Menyadari ekspresi Jodha, Jalal terkikik geli "Tenang kamu bisa duduk di jok belakang. Saya tidak bermaksud macam-macam"
Makasih banyak pak tawarannya, tapi lebih baik saya naik angkot atau taksi saja, mungkin sebentar lagi datang Jodha menolak secara halus tawaran Jalal
Kamu yakin masih ada angkot atau taksi yang lewat? Ini sudah jam sebelas malam”
Jodha berpikir sebentar. Dan akhirnya ia pun mengangguk menerima tawaran Jalal. Jodha yakin kalau pria itu tidak akan berbuat macam-macam. Tapi entahlah ia merasa sangat canggung.
Mobil yang dikendarai Jalal mulai melaju membelah dinginnya angin malam. Tidak ada percakapan diantara mereka. Hanya suara musik Nasyid yang mengalun.
Sambil mengemudi Jalal mengetuk-ngetukan jarinya seolah menikmati alunan musik favoritnya. Berbeda dengan sosok perempuan dibelakangnya, Jodha terlihat melamun matanya memandang ke arah luar jendela.
Kenapa gak pesen ojek online? Tanya Jalal
Jodha kembali tersadar dari lamunannya Handphone saya ketinggalan di rumah sakit pak” jawab Jodha dengan singkat
Jalal terkekeh mengingat betapa pelupa muridnya ini Kebiasaan lamamu ternyata belum hilang, saya jadi ingat dulu waktu masih jadi guru PPL kamu sering lupa bawa buku tugas padahal deadline nya hari itu. Saya gak tau kamu benar-benar lupa atau memang kamu belum ngerjain tugasnya”
Jodha hanya bisa tersenyum simpul, ia sama sekali tak ingin menanggapi gurauan Jalal. Tak tahukah pria ini bahwa ia sedang mati-matian melupakan kenangan yang berhubungan dengannya. Lagipula mana mungkin seorang peraih juara 1 debat bahasa Arab tidak mengerjakan tugas. Jalal pun pasti tahu akan hal itu
Sebenarnya Jalal hanya ingin mengetes respon yang diberikan Jodha tapi ia sadar muridnya ini sudah banyak berubah. Lebih tepatnya wanita itu berubah hanya saat bersamanya saja. Sewaktu di Rumah Sakit Jalal sering melihat Jodha tersenyum ramah bahkan sesekali tertawa bersama pasien atau temannya. Tapi saat bersamanya wanita itu sama sekali tak menanggapinya.
Jalal terlalu sibuk dengan pikirannya sampai ia tak menyadari jika perempuan dibelakangnya sedang meringis kesakitan. Perutnya terasa terlilit, perih menjalar hingga ke ulu hati. Hingga akhirnya
Hoek..hoekk Jodha merasa mual
Jalal melihat Jodha lewat kaca spion, terlihat wajahnya pucat ia meringis sambil meremas perutnya. Kamu sakit? tanya Jalal khawatir melihat kondisi Jodha.
Maag saya kambuh pak jawab Jodha dengan suara lemas yang hampir tak terdengar
Bawa obatnya?
Jodha menggeleng lemah. Akhirnya Jalal memutuskan untuk membelokkan mobilnya di depan minimarket Kamu tunggu sebentar, saya beli obatnya dulu” Jodha hanya bisa mengangguk.
Tak lama kemudian pria itu datang dengan kantong kresek putih ditangannya, Jalal memberikan obat dan air minum untuk Jodha. Tak lupa ia pun memberi minyak angin untuk mengurangi rasa mual yang Jodha rasakan.
Jalal menyerahkan jaket yang tersampir di kursinya pada Jodha Pakai ini kamu pasti kedinginan
Jodha menerima jaketnya tanpa bantahan, Lain kali tolong kurangi sikap cerobohmu itu, kali ini alhamdulillah kamu tidak apa-apa. Tapi jika tadi saya tidak bertemu denganmu. Mungkin kamu masih disana menunggu angkot hingga berjam-jam ditengah hujan lebat ditambah maag yang sedang kambuh”
Tak dapat dipungkiri ada nada khawatir disana bukan sebagai seorang guru kepada muridnya tapi sebagai seorang pria pada wanita. Jodha pun menyadari itu.
Tolong berhentilah bersikap seperti ini atau hatiku akan melambung terlalu tinggi dan akhirnya terjatuh (lagi) batin Jodha
****
Jika kau bahagia mencintainya dalam diam
Berarti kau pun harus ikhlas melihatnya bahagia bersama orang lain
(Jodha Atsilia Haura)
Karya: Sasha Citra